Sadarkah kalian, meskipun tidak terkenal sebagai penyerap karbon, terumbu karang kerap dilibatkan dalam diskusi terkait dekarbonisasi dan keberlanjutan?
Kok bisa? Ekosistem yang kerap dijuluki hutan hujannya lautan ini juga merupakan bagian dari ekosistem karbon biru, lho, yang mencakup hutan bakau (mangrove), padang lamun (seagrass), serta rumput laut (seaweed).
Pada artikel sebelumnya, kita telah membahas tentang manfaat ekosistem bakau bagi lingkungan dan juga perusahaan. Pada artikel kali ini, kita akan berkenalan dulu dengan hewan ajaib ini (yes, terumbu karang adalah hewan!) untuk memahami manfaat terumbu karang dan alasan mengapa perusahaan tidak boleh mengabaikan kelestariannya.
Terumbu Karang Sebenarnya Hewan!
Benar sekali, kamu tidak salah baca, kok. Terumbu karang atau koral sebenarnya merupakan hewan, bukan tumbuhan atau bebatuan semata. Tepatnya, koral adalah hewan invertebrata (tak bertulang belakang) dalam kelas Anthozoa dan filum Cnidaria. Biasanya, hewan ini memang membentuk koloni yang tersusun rapat yang terdiri atas banyak sekali individu polip yang serupa.
Koral juga merupakan makhluk yang menetap dan tak bergerak. Mereka secara permanen menancapkan diri di lantai dasar laut (dapat dibayangkan seperti mengakar layaknya tumbuhan pada umumnya). Mereka akan berkumpul dan membentuk kerangka (skeleton) keras dengan mensekresi kalsium karbonat. Seiring waktu, mereka akan saling menumpuk pada karang-karang yang mati di bawahnya, bersama dengan elemen-elemen dan makhluk-makhluk yang lain membentuk terumbu karang yang kita ketahui selama ini. Barangkali hal ini yang membuat orang awam sering keliru, ya, dengan identitas koral ini.
Manfaat Terumbu Karang
Penyerap Karbon (?)
Untuk terumbu karang sendiri, kapabilitasnya sebagai penyerap karbon memang masih diperdebatkan. Ada sumber yang menyimpulkan bahwa terumbu karang secara bersih (net) dapat menyerap karbon berdasarkan perhitungan estimasi, tetapi jumlahnya tidak sesignifikan penyerap karbon yang lain seperti padang lamun dan hutan bakau.
Meskipun demikian, terumbu karang tetap memiliki peran penting dalam upaya pengurangan emisi atau dekarbonisasi. Terumbu karang sangat erat hubungannya dengan padang lamun dan hutan bakau yang merupakan penyerap karbon besar. Terumbu karang juga memiliki hubungan erat dengan banyak laguna dan landas benua di mana karbon diserap melalui sedimentasi. Hilangnya terumbu karang tidak hanya dapat merusak sistem ini, tetapi mungkin juga melepaskan karbon yang telah tersimpan.
Selain itu, lamun dan hutan bakau juga berpotensi kehilangan perlindungan dari badai yang disediakan oleh terumbu karang (lebih lanjut akan dibahas pada poin berikutnya).
Pelindung Pesisir
Jika hutan bakau melindungi dari pesisir, terumbu karang melindungi pantai dan ekosistemnya dari tengah laut. Terumbu karang berperan sebagai penyangga dan pemecah gelombang alami yang meminimalkan energi dahsyat gelombang laut.
40% populasi dunia (sekitar 2.4 milyar penduduk) tinggal dalam jarak 100km dari pantai. Mereka tentunya akan sangat bergantung pada keberadaan dan keberlangsungan hidup terumbu karang.
Penunjang Keanekaragaman Hayati
Inilah sebabnya terumbu karang sering dijuluki hutan hujannya lautan. Terumbu karang mencakup kurang dari 1% permukaan lautan, tetapi merupakan rumah bagi 25% dari semua spesies yang hidup di laut.
Data dari restorasi yang berlangsung 15 tahun lamanya di Jemeluk Bay, Bali, menunjukkan peningkatan angka spesies ikan di lokasi restorasi sebanyak 3.2 kali dan peningkatan jumlah ikan sebanyak 25.6 kali (Hartati, 2017; Puspasari dkk., 2020).
Sumber Mata Pencaharian
Seperti halnya hutan bakau, semua manfaat yang telah disebutkan di atas menjadikan terumbu karang bagian tidak terpisahkan sebagai sumber mata pencaharian bagi masyarakat lokal. Selain itu, kemampuan menunjang keanekaragaman hayatinya menjadikannya situs perikanan dan objek ekowisata berpotensi tinggi.
Ancaman Terhadap Terumbu Karang
Coral Reef Project oleh Pacific Coastal and Marine Science Centre pada Juni 2022 lalu mengestimasi bahwa 30% dari terumbu karang di dunia akan telah hancur atau terdegradasi secara serius dalam 10 tahun sejak estimasi tersebut dihitung.
Ancaman terhadap kehancuran terumbu karang datang dapat disebabkan oleh perubahan iklim dan juga manusia secara langsung.
Perubahan iklim menyebabkan ancaman terhadap terumbu karang meliputi:
- kepanasan dan keputihan karang,
- naiknya permukaan air laut,
- bertambah kuatnya gelombang badai, dan
- pengasaman samudra
Ancaman terhadap terumbu karang oleh manusia secara langsung, terutama industri, meliputi praktik memancing yang tidak berkelanjutan, pencemaran air oleh sisa industri yang dibuang ke laut, dan kehancuran habitat. Kehancuran habitat sendiri meliputi perilaku yang merusak seperti menyentuh atau berdiri atas karang, konstruksi infrastruktur yang mengabaikan karang, atau bahkan praktik perkapalan yang tidak baik (seperti melempar jangkar di atas karang).
Mengapa Perusahaan Harus Memperhatikan Terumbu Karang (juga)
Di Indonesia sendiri, praktik memancing dengan dinamit (dynamite fishing) masih menjadi ancaman signifikan (Ceccarelli dkk., 2020).
Survei dari tahun 2019 juga menunjukkan bahwa hanya 30% dari terumbu karang di seluruh Indonesia yang masih dikategorikan berkondisi baik (Johan dkk., 2020)
Terumbu karang telah memberikan manfaat selama bertahun-tahun lamanya kepada kita. Perubahan iklim berdampak pada kita, dan juga mereka. Sudah jelas bahwa sekarang kita butuh tentakel mereka, seperti mereka membutuhkan uluran tentakel kita.
Perusahaan yang hendak mengamankan keberlanjutan usahanya harus berkontribusi terhadap keberlangsungan hidup terumbu karang juga. Salah satu cara perusahaan dapat berkontribusi dalam hal ini adalah dengan menanam koral (coral planting) dengan Bumi Journey.
Selain mendapat kesempatan untuk team bonding, sesi edukasi, dan CSR, menanam dengan Bumi Journey akan membantu kesejahteraan masyarakat lokal. Masyarakat lokal tidak hanya terbantu dari segi pemasukan langsung, tetapi juga oleh manfaat yang terus diberikan oleh koral yang telah ditanam dan dipelihara kesehatannya.
Ayo tunjukkan aksimu dengan menanam koral bersama Bumi Journey!
—-
Kutipan Akademis
Ceccarelli, D. M., McLeod, I. M., Boström-Einarsson, L., Bryan, S. E., Chartrand, K. M., Emslie, M. J., … & Bay, L. K. (2020). Substrate stabilisation and small structures in coral restoration: State of knowledge, and considerations for management and implementation. PloS one, 15(10), e0240846.
Hartati, S. T. (2017). Rehabilitasi wilayah pesisir melalui pengembangan terumbu buatan. Bawal Widya Riset Perikanan Tangkap, 2(1), 35-43.
Johan, O., Budiyanto, A., Dzumalek, A. R., & Sulha, S. (2020). The Status of Indonesian Coral Reefs 2019. Research Center for Oceanography.
Puspasari, R., Wiadnyana, N. N., Hartati, S. T., Rachmawati, R., & Yahya, Y. (2020). The effectiveness of artificial reefs in improving ecosystem health to increase coral reef resilience. Jurnal Segara, 16(2), 115-126.